“In youth we believe what we hope; in maturity, what we fear.” Raphael Sabatini (1930)
Pada subjek pradewasa, dalam ranah kajian neurosains, perkembangan otak belum mencapai titik yang mapan. Bagian otak yang menangani urusan pertimbangan pengambilan keputusan (executive functioning atau self-control) berada di otak bagian depan yang dinamai prefrontral cortex (PFC).
Tugas utama executive functioning adalah memberikan pertimbangan rasional mengenai sejauh mana seseorang perlu menahan diri terhadap impuls untuk melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan aturan dan norma yang berlaku (Hagger dkk., 2016). Gottfredson dan Hirschi (1990) dalam karya seminal A General Theory of Crime memprediksikan bahwa kecenderungan berfokus pada kenikmatan sesaat tanpa mempertimbangkan efek jangka panjang dapat mengarahkan individu pada berbagai tindakan kriminal.
Bagaimanapun perlu dicatat bahwa manusia adalah makhluk yang sangat sosial. Ia adalah fungsi dari interaksi dengan orang lain dan lingkungannya, bukan unit yang terisolasi. Suatu perilaku dapat terjadi atau tidak memerlukan (kehadiran) serta kontribusi orang lain sebagai faktor pendorong maupun penghambat. Dalam perspektif ini, perilaku kriminal semata hanya akibat dari proses reaksi otak dan sosial yang apabila disandingkan dengan aturan hukum melanggar.
Riset longitudinal Moffitt dan kolega (2011) selama 32 tahun menemukan bahwa selain executive functioning, kecerdasan (IQ) dan status sosial ekonomi adalah tiga faktor risiko utama yang memprediksikan kriminalitas pada masa dewasa. Dengan demikian, pada level sosial, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat sosial dan ekonomi seseorang. Bersama dengan faktor biopsikologis, faktor sosial membentuk sistem kompleks atas suatu perilaku.
Satu spesifikasi individu yang sama sekalipun akan menjadi bervariasi perilakunya bergantung kepada posisi sosial dan ekonomi. Perilaku pencurian di sekolah, misalnya, secara relatif akan lebih mungkin terjadi di sekolah yang siswanya berada pada level sosial-ekonomi bawah daripada sekolah dengan siswa kelas sosial-ekonomi atas yang mana perkelahian antar teman lebih mudah terjadi.
Imbalan dan hukuman yang diterima dari lingkungan sosial sama-sama dapat menjadi modulator atas perubahan perilaku individu, namun pemberian hukuman dapat membangkitkan perasaan takut (fear). Dalam program klasik Scared Straight dan program juvenile awareness lain di negara maju, pencegahan perilaku kriminal berulang oleh individu pradewasa dilakukan dengan cara mengkondisikan individu tersebut untuk melihat kehidupan yang sesungguhnya dari lembaga pemasyarakatan orang dewasa. Asumsi yang digunakan adalah perasaan takut akibat pengalaman negatif ini dapat memberikan pembelajaran agar individu tidak melakukan perbuatan kriminal di masa depan.
Program serupa bukan saja tidak memiliki efek namun dapat bersifat kontraproduktif; individu pradewasa yang mengikuti program ini justru menjadi lebih berisiko untuk berbuat kriminal (Petrosino, Turpin-Petrosino, & Buehler, 2013). Pola aktivitas otak serupa antara emosi takut dan marah (Wager, Kang, Johnson, Nichols, Satpute, & Barrett, 2015), yang menjelaskan mengapa individu yang berada dalam kondisi takut akan lebih mudah terpicu kemarahannya daripada jenis emosi yang lain (Zhan, Ren, Fan, & Luo, 2016). Dalam konteks situasi yang provokatif, emosi marah dapat menjelma menjadi perilaku agresif (Hortensius, Schutter, & Harmon-Jones, 2012).
Sebaliknya, melalui serangkaian eksperimen, Gelder, Hershfield, dan Nordgren (2013) menguji apakah ketika individu diminta untuk membayangkan di masa depan maka hal ini dapat mengurangi kecenderungannya untuk membuat pilihan yang mengandung unsur kriminal. Partisipan diminta menulis sepucuk surat kepada bayangan dirinya 20 tahun ke depan, serta untuk melakukan interaksi dengan versi digital dirinya pada usia 40 tahun yang ditampilkan melalui cermin virtual. Partisipan kemudian dihadapkan pada dilema yang mencakup berbagai skenario mulai dari kecurangan pada saat ujian, pencurian, sampai penipuan asuransi. Penelitian ini menemukan bahwa semakin jelas bayangan partisipan tentang dirinya sendiri di masa depan, semakin rendah pula kecenderungannya untuk membuat pilihan yang mengarah pada kriminalitas. Ada banyak kesamaan antara skenario perilaku menyimpang skala kecil yang digunakan dalam penelitian ini dengan kriminalitas yang sesungguhnya (Hirschi & Gottfredson, 2001).
Dari perspektif subtansi (sistem saraf) dan struktur (sosial), dapat dipahami bahwa pemahaman yang komprehensif mutlak diperlukan agar langkah ke depan menjadi semakin baik seiring dengan semakin membaiknya pemahaman atas suatu fenomena yang terjadi.
Focus group discussion ini diadakan oleh PERSADA Universitas Brawijaya dan Polres Malang Kota dengan tema “Optimalisasi penerapan diversi berbasis pendidikan demi menyelamatkan masa depan anak”.
Liputan media untuk acara ini dapat diakses di sini.