Neuropolitics and implicit bias @Pusat Neurosains Uhamka

Liputan media untuk acara ini dapat diakses di sini.

Asinus asinum fricat (One donkey scratches another donkey), demikian adagium klasik latin menggambarkan bagaimana suatu pandangan, pendapat, dan aksi beroperasi. Interaksi dengan entitas lain, bagaimanapun, mengandaikan kesamaan atribut dengan diri sendiri.

Homophily, kecenderungan seseorang untuk berkawan dengan orang lain yang sejenis mengawal pola kekerabatan manusia sebagai makhluk yang sangat sosial. Bayi yang baru berusia tiga bulan pun sudah mampu mengidentifikasi wajah orang lain yang bukan berasal dari rasnya, dan lebih memilih topologi wajah yang berasal dari kelompok etnis yang sama (Kelly dkk.,  2005). Hal ini berimplikasi bahwa kemampuan memilih zona yang aman sudah mulai dipelajari sejak masa awal kehidupan.

Kompleksitas kehidupan sosial membawa berbagai fitur bawaan ke arah yang tidak selalu menguntungkan. Sofistikasi aturan main sosial berupa sistem politik, aturan hukum, kelas sosial-ekonomi, yang berbasis rule-based, tidak dibarengi dengan laju perkembangan memadai dari sisi biologis. Secara biologis, faktor efisiensi energi dan sisi emosi-afek menjadi dasar terbangunnya konstruksi psikologis manusia. Energi yang dibutuhkan otak agar beroperasi sangatlah besar.

Sistem konservasi energi, agar anggota tubuh lain mendapatkan pasokan daya yang cukup mensyaratkan alokasi dengan distribusi energi yang relatif berimbang. Agar otak tidak terlalu boros daya, kemampuannya tidak selalu berada pada posisi optimal, terutama untuk hal yang bersifat rutin, sehari-hari. Efisiensi ini melahirkan konsekuensi tidak semua keputusan yang diambil cukup diperhitungkan secara detail dan jernih. Otak hanya secara cepat mengambil data yang tersedia dalam bentuk pola sederhana.

Celah yang terjadi kemudian memungkinkan terjadinya “kegagapan” dalam proses mental dan perilaku berupa dinamika psikologis. Inilah cikal bakal munculnya bias atau preferensi terhadap kategori tertentu yang mengandung systematic error. Bias dapat terjadi pada level disadari (eksplisit), mungkin pula muncul pada level tidak disadari (implisit).

Bias eksplisit umumnya diteliti dengan cara survei self-reported. Sementara pengukuran bias implisit memerlukan teknik yang lebih canggih, salah satunya adalah melalui Implicit Association Test yang dikembangkan Universitas Harvard. Secara neurosains, tiga area di otak yang terkait dengan bias implisit, khususnya yang melibatkan kelompok sosial, telah diidentifikasi: (i) amygdala – untuk evaluasi otomatis stimulus sosial yang relevan, (ii) anterior cingulate cortex (ACC), untuk stimulus tersebut, dan (iii) dorsolateral prefrontal cortex (dlFFC) untuk regulasi respons amygdala (Stanley, Phelps, & Banaji, 2008).

Bias implisit penting untuk memprediksi perilaku politik seperti voting intention dan voting behavior dalam pemilihan umum dan isu politik lain, meskipun pola yang dihasilkan belum konsisten (Raccula, 2016). Sebagian peneliti (Arcuri, Castelli, Galdi, Zogmaister, & Amadori, 2008; Galdi, Arcuri, dan Gawronski, 2008) menemukan bahwa bagi undecided voters, preferensi politik yang diukur dengan menggunakan instrumen IAT dapat memprediksi perilaku voting yang sesungguhnya di kemudian hari. Namun peneliti lain (Friese, Smith, Koever, & Bluemke, 2016) menyimpulkan bahwa preferensi yang secara eksplisit dilaporkan oleh pemilih merupakan prediktor yang lebih baik.

Satu hal yang pasti, kita memang tidak selalu mengetahui alasan rasional mengapa kita sampai memiliki preferensi tertentu. Dalam penelitian McDermott, Tingley, dan Hatemi (2014), bau badan orang tak dikenal yang memiliki ideologi politik yang sama dengan partisipan bahkan dianggap lebih menarik daripada bau badan orang dengan ideologi politik yang berbeda.

Terima kasih kepada Pusat Neurosains Uhamka atas undangan untuk berbagi mengenai bagaimana bias implisit dapat memengaruhi kehidupan politik.

%d bloggers like this: