“It doesn’t matter how beautiful your theory is, it doesn’t matter how smart you are. If it doesn’t agree with experiment, it’s wrong.” (Richard Feynman)
Thomas Dicky Hastjarjo dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Psikologi Eksperimental tahun 2008 menyatakan bahwa Psikologi adalah disiplin ilmu yang terpecah-pecah. Menurut pandangan aliran dualisme, mind merupakan hal yang terpisah-dikotomis dari brain (substansi fisik-material), karena secara intuitif diri sejati manusia (“self”) tidak dapat direduksi ke dalam ranah material yang empiris. Pengaruh gerakan romantisme, fideisme, dan vitalisme dalam Filsafat memberikan kontribusi dalam hal ini. Sebaliknya pandangan monisme menganggap mind-brain sebagai hal yang tak terpisahkan.
Skeptisme terhadap status ilmiah Psikologi menjadi perdebatan klasik tidak saja di kalangan filsuf, namun juga masyarakat awam. Dari 1000 orang di Amerika Serikat yang mengikuti survei American Psychological Association Benchmark Study, 70% responden tidak setuju dengan pernyataan bahwa “Psikologi berupaya memahami perilaku manusia melalui kajian ilmiah,” (Lilienfeld, 2012). Bagi responden, aparatus dan material yang digunakan oleh peneliti menunjukkan sejauh mana derajat ilmiah suatu bidang kajian (lihat juga Krull & Silvera, 2013). Sementara banyak ilmuwan Psikologi yang mengandalkan pada teknik pelaporan diri partisipan tanpa campur tangan peneliti (self-report) berbentuk kuesioner tertulis untuk mengukur kompleksitas perilaku dan proses mental manusia.
Sains melahirkan teknologi, teknologi menopang sains pada suatu derajat yang makin hari semakin tinggi, terutama pada masalah keterukuran. Perkembangan teknologi saat ini sebetulnya mampu memetakan data biologis yang menyokong objek kajian Psikologi, bahkan sampai ranah emosi-afek yang melampaui wilayah kognisi (“rasionalitas”). Akan tetapi ketiadaan semangat bersama mengenai apa sesungguhnya akar dari perilaku dan proses mental adalah sumber utama keterbatasan Psikologi dalam perjalanan meraih status “mature science” seperti Fisika (ada hukum gravitasi) dan Kimia (ada tabel periodik unsur).
Psikologi yang dalam sejarahnya diakui sebagai sains sejak didirikannya laboratorium Psikologi Eksperimental oleh Wilhelm Wundt (1832–1920), memiliki proses perkembangan yang unik. Jika pada awalnya kajian di bidang Psikologi identik dengan Psikologi Eksperimental, status Psikologi Eksperimental kemudian bergeser sebagai salah satu cabang dalam Psikologi. Dalam perjalanannya, meskipun dilahirkan dari rahim metode eksperimental, proses kedewasaan Psikologi dibangun oleh pendekatan noneksperimental. Saat ini bahasan tentang Psikologi Eksperimental umumnya menyempit sebagai salah satu metode dalam riset kuantitatif (data yang diperoleh peneliti berupa angka), vis-à-vis metode riset kuantitatif noneksperimental (survei) dan metode riset kualitatif (Hastjarjo, 2014).
- Kutipan dari: Yusainy, C. (2019). Panduan riset eksperimental dalam Psikologi (edisi revisi). Malang: UB Press.
Terima kasih kepada Prof. Thomas Dicky Hastjarjo dan Dr. Sri Kusromaniah atas undangan untuk berbagi. Experiment ain’t easy, but… it is fun!