Sebagai makhluk ultra sosial, kehadiran orang lain adalah niscaya.
Hipotesis Machiavellian intelligence (“social brain”) mengidentifikasi kompetisi sosial sebagai faktor terpenting dalam evolusi, karena memungkinkan manusia mengembangkan kapasitas kognitifnya dengan beragam strategi untuk meraih kesuksesan secara sosial, beserta kemampuan untuk terus belajar dan menggunakan strategi tersebut. Drama yang terjadi di media sosial perlu disikapi dengan cara berbagi secara mindful.
Pernahkah timbul rasa sepi ketika Anda sedang berada di sekeliling wajah-wajah yang sebetulnya akrab bagi keseharian Anda? Masihkah ada kekosongan yang Anda rasakan di tengah tugas dan aktivitas yang menumpuk? Mungkin Anda pernah berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang mampu memahami Anda, sehingga Anda merasa terkucil di antara ramainya kehidupan yang terus berjalan. Kesepian bisa menjadi salah satu pengalaman yang paling menakutkan bagi manusia.
Seiring bertambahnya usia, kesempatan kita untuk membangun relasi sosial yang baru akan menurun. Namun kesepian bukan hanya milik para lansia. Bukan pula mutlak milik remaja yang ingin eksis di lingkungan sosialnya. Kesepian tidak sama dengan kesendirian. Perasaan sepi adalah manifestasi dari ketidakseimbangan emosi SEEKING (ekspektansi), PANIC/GRIEF (kesedihan), dan PLAY (sosialisasi), yang merupakan beberapa emosi dasar yang tertanam kuat di sepanjang sejarah evolusi manusia. Perasaan ini bisa dialami oleh siapa saja yang merasa bahwa kebutuhan sosialnya akan dukungan dan penerimaan dari lingkungan tidak terpenuhi.
Otak kita memiliki kecenderungan untuk mendeteksi persamaan dan perbedaan antara diri kita dengan orang lain. Tanpa ikatan sosial yang memadai, kita akan mempersepsi dunia sebagai tempat yang berbahaya. Studi ilmiah menunjukkan bahwa rasa sepi akibat penolakan sosial itu sama hebatnya dengan sakit yang ditimbulkan oleh luka fisik, rasa haus, dan rasa lapar. Tidaklah mengherankan bahwa kesepian dapat memicu kecemasan, amarah, depresi, halusinasi, dan bahkan kematian.
Saat pikiran sedang dikuasai oleh kesepian, kita bisa menampilkan perilaku yang malah mendorong orang lain untuk semakin menjauh. Kita mengumpat, mencela, atau mengurung diri di dalam kamar. Sebagian mungkin mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan untuk membunuh sepi. Untuk sementara waktu, strategi semacam ini dapat membuat kita kembali merasa aman. Akan tetapi, rasa sepi akan kembali menggerogoti selama kita masih menutup diri bahwa perasaan ini adalah fakta, dorongan alamiah agar kita manusia terus mempunyai energi untuk bersosialisasi dengan sesama.
Di sinilah kemudian diperlukan latihan mindfulness. Melalui mindfulness, kita belajar untuk tidak melawan sepi yang kita rasakan. Kita belajar menyapa perasaan kesepian dengan amat mendalam, dengan mengajaknya berkenalan, berkawan secara alamiah. Kita melatih pikiran kita untuk menerima, bahwa kesepian merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam kehidupan manusia.
Baru-baru ini, sebuah eksperimen di Pennsylvania, Amerika Serikat melaporkan adanya penurunan elemen genetic inflammatory genes yang merupakan tanda biologis dari kesepian pada para lansia yang menjalani latihan mindfulness. Elemen genetik tersebut sangat terkait dengan beragam penyakit seperti kanker, jantung, dan demensia. Ketika kita sudah bisa berkawan dengan rasa sepi secara benar, pada gilirannya kita akan memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Sepi tidak lagi berarti wajah ngeri yang menakutkan, tapi ia akan merubah wujudnya dengan memberi arti, bahwa sepi membuat kita lebih berani. Berani untuk hidup.
- Kutipan selengkapnya: Yusainy, C. (2015). Mengubah kesepian menjadi kedamaian. Dalam Adjie Silarus, Sadar penuh, hadir utuh (hlm. 33 -36). Jakarta: Transmedia.
Acara Psychoweek Talkshow digelar oleh BEM Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang dengan tema kesehatan mental di era media sosial.