Mindfully returning to yourself @FK UNS

“Gnothi seauton (to know oneself) must be preceded by the spiritual relation, epimeleia heautou (to care for one’s self).” Michel Foucault (1926-1984).

Sudah menjadi kebiasaan umum untuk menghujat orang lain yang berperilaku seenaknya tanpa menunjukkan perasaan bersalah. Teman yang selalu saja datang terlambat dari waktu yang sudah disepakati. Pengemudi kendaraan yang mendadak nyelonong tanpa membunyikan klakson. Orang yang menyerobot antrian ketika berbelanja di mini market. “Kog bisa-bisanya sih! Pasti ngga’ pernah ada yang ngajarin.”

Rasa bersalah bukan merupakan emosi dasar manusia. Jadi jangan heran apabila perasaan ini tidak ditunjukkan oleh semua orang. Ini berbeda, misalnya, dengan rasa takut. Kita tidak perlu diajari untuk merasa takut terhadap binatang buas atau bencana alam. Rasa bersalah ditanamkan sejak kecil pada saat kita melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dan terus-menerus dikukuhkan oleh lingkungan. Kebutuhan untuk menjadi “orang baik” menimbulkan perasaan bersalah ketika orang lain terganggu akibat perkataan maupun perbuatan kita.

Persoalannya, rasa bersalah yang berlarut-larut bisa menyebabkan kebencian kepada diri sendiri. Satu cara untuk mengurangi perasaan bersalah adalah dengan meminta maaf secara tulus kepada siapapun yang telah menjadi korban perbuatan kita. Namun tak jarang, perasaan bersalah tetap menghantui meskipun orang yang bersangkutan sudah memberikan maafnya. Ada kalanya kita bahkan tidak memiliki kesempatan untuk meminta maaf secara langsung, karena orang yang pernah kita sakiti sudah tidak lagi ada bersama kita. Dalam kondisi ini, bisakah kita memaafkan diri sendiri?

Mindfulness tidak melatih kita untuk melupakan dan mengingkari hal-hal yang pernah terjadi. Sebaliknya, latihan mindfulness akan memunculkan ingatan yang jernih tentang masa lalu, termasuk masa dimana kita pernah mengecewakan orang lain, berbohong, atau berkhianat. Sesal yang muncul kemudian merupakan hal yang wajar, namun kita tidak lagi merasa perlu untuk menghukum diri dengan rasa bersalah. Kita menjadi lebih bisa menyadari bahwa diri kita “saat ini” sudah bukan lagi diri kita yang dulu berbuat salah. Kalau kita masih orang yang sama, tentunya kita akan terus melakukan kesalahan serupa. Adanya kesadaran bahwa “seharusnya” kita tidak melakukan perbuatan tertentu yang akan kitas esali, menunjukkan bahwa kita sudah berubah. Saat kita mampu menengok ke belakang dengan penuh kelembutan, saat itulah kita mulai belajar untuk memaafkan kesalahan demi kesalahan yang pernah kita lakukan.

  • Kutipan selengkapnya: Yusainy, C. (2015). Memperbaiki perasaan bersalah.  Dalam Adjie Silarus, Sadar penuh, hadir utuh (hlm. 36 – 38). Jakarta: Transmedia.

Terima kasih kepada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

%d bloggers like this: